mengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosial?jelaskan!mengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosialmengapa badah ritual dengan ibadah sosial harus sejalanmengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosialMengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosialPenjelasan Lebih Komperhensif dalam Islam Jawaban supaya ibadah tersebut dapat diterima maaf kalo salah mengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosial mungkin alasannya tidak di kehendaki nantinya terjadi bid’ah yg jelek krn tdk sesjalan dgn ibadah sosial atau aturan syarak yang ad mengapa badah ritual dengan ibadah sosial harus sejalan karna badah ritual yaitu sebuah badah yg d lakukan suku/etika istiadat daerah itu sendiri ibadah sosoial suatu ibadah yg d kerjakan bersosoial atau berjamaah, mengapa ibadah ritual mesti sejalan dengan ibadah sosial alasannya keduanya sama2 beribadah Mengapa ibadah ritual harus sejalan dengan ibadah sosial Karena jikalau tiak sejalan dengan ibadah sosial itu hukumnya haram/dihentikan Penjelasan Lebih Komperhensif dalam Islam Jika dipelajari dan diteliti secara mendalam, isi dari Al-Quran terdiri dari dua bagian besar ajaran, yakni ajaran tentang persoalan ibadah individual dan ajaran tentang ibadah sosial. Ibadah mahdhoh merujuk pada ibadah yang dilakukan secara langsung oleh individu dengan Allah SWT melalui tata cara, syarat, dan prosedur tertentu kaifiyat. Hubungan antara manusia dan Allah dalam hal ini disebut dengan hablun minallah menurut Al-Quran. Ibadah sosial merujuk pada ibadah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial. Dalam Al-Quran, hubungan ini disebut sebagai hablul minnannas. Dalam Islam, setiap tindakan yang dilakukan manusia adalah bentuk pengabdian kepada Allah SWT yang bernilai ibadah. Namun, interaksi antar manusia dalam kehidupan sosial juga dapat dianggap sebagai ibadah apabila dilandasi niat untuk mengabdikan diri semata-mata kepada Allah SWT. Sebagai umat Muslim, kita harus menyadari bahwa segala aspek kehidupan dapat menjadi sarana untuk memperoleh keberkahan dan keberlimpahan rahmat dari Allah SWT, asalkan kita melakukannya dengan niat yang benar dan ikhlas. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama mengisi setiap aspek kehidupan dengan pengabdian kepada Sang Pencipta agar hidup kita selalu diberkahi-Nya. Fakta yang tak dapat disangkal adalah bahwa sebagian besar manusia cenderung menganggap ibadah dalam bentuk ibadah mahdhoh khusus sebagai bentuk ibadah yang benar-benar dirasakan dan lebih diutamakan. Ibadah-ibadah seperti shalat, berpuasa, haji, membaca Al-Quran, berdzikir, dan lain sebagainya menjadi fokus utama bagi sebagian besar orang dalam menjalankan ibadah mereka. Namun, sebagai umat Muslim yang taat, kita harus memahami bahwa setiap bentuk kebaikan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan penuh kesadaran sebagai pengabdian kepada Allah SWT adalah bentuk ibadah yang bernilai di sisi-Nya. Oleh karena itu, meskipun ibadah mahdhoh khusus seringkali mendapat perhatian lebih, tidak boleh mengabaikan ibadah sosial yang tak kalah pentingnya dalam mencapai ridha Allah SWT. Mari bersama-sama memperluas pemahaman kita tentang makna sebenarnya dari ibadah sehingga setiap tindakan kita dapat menjadi sarana pengabdian yang sempurna kepada-Nya. Sayangnya, masih banyak yang menganggap bahwa ibadah sosial yang berkaitan dengan interaksi antar manusia dalam kehidupan sosial seperti menjalin hubungan yang baik dengan sesama, membantu orang yang membutuhkan, membantu fakir miskin, memberikan santunan kepada anak yatim, memberikan bantuan saat terjadi bencana, serta membantu memberantas kebodohan dan keterbelakangan, dinilai kurang penting dan terkadang kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan ibadah mahdhah khassah. Sebagai seorang Muslim yang taat, kita harus menyadari bahwa ibadah sosial yang dilakukan dengan niat ikhlas dan penuh kesadaran juga sama-sama pentingnya dengan ibadah mahdhah khassah. Dalam Islam, memberikan bantuan dan berbuat baik kepada sesama manusia termasuk sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan pentingnya ibadah sosial dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita harus memperluas pemahaman kita tentang makna sebenarnya dari ibadah sehingga setiap tindakan kita dapat menjadi sarana pengabdian yang sempurna kepada-Nya, baik dalam ibadah mahdhah khassah maupun ibadah sosial. Dalam al-Qur’an, terdapat ayat-ayat yang mengatur hukum fikih, terutama dalam masalah ibadah mahdhah. Namun, jika dibandingkan dengan ayat-ayat yang membahas tentang persoalan sosial dan persoalan yang berkaitan dengannya, jumlah ayat yang mengatur hukum fikih sebenarnya tidak terlalu banyak. Meskipun begitu, para ulama besar seperti Al-Ghazali, Ar-Razi, dan Al-Mawardi menilai bahwa jumlah ayat hukum tersebut sudah cukup untuk memberikan panduan dalam beribadah kepada umat Muslim. Mereka juga mengajarkan bahwa pentingnya memahami dan mengekstraksi nilai-nilai sosial yang terkandung dalam al-Qur’an sebagai panduan dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan menjalani kehidupan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, sebagai umat Muslim, kita harus dapat memahami dan mengamalkan kedua aspek tersebut dengan seimbang, baik itu dalam masalah ibadah mahdhah maupun persoalan sosial, agar dapat hidup sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam diskusi mengenai jumlah ayat hukum dalam al-Qur’an, para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Ibnu al-Arabi menyatakan bahwa jumlahnya sekitar 800 ayat, sementara menurut Al-Ghazali hanya sekitar 500 ayat. Ash-Shan’ani bahkan berpendapat bahwa jumlahnya hanya sekitar 200 ayat, dan Ibnul Qayyim memperkirakan hanya sekitar 150 ayat saja. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar isi al-Qur’an, yang terdiri dari 30 Juz, 114 surat, dan 6236 ayat, membahas dan menjelaskan persoalan-persoalan sosial, memberikan petunjuk-petunjuk, serta menceritakan kisah-kisah umat masa lalu sebagai pelajaran bagi manusia. Kedua jenis ibadah, baik ibadah individual maupun sosial, memiliki nilai yang sama-sama penting dalam Islam. Meskipun jumlah ayat yang mengatur tentang persoalan ibadah sosial dalam al-Qur’an lebih banyak, bukan berarti ibadah individual kurang penting. Keduanya harus diperhatikan dan diamalkan secara seimbang. Oleh karena itu, pandangan yang meremehkan nilai ibadah sosial harus dihilangkan dan kedua jenis ibadah harus ditempatkan pada posisi yang sama-sama berharga dan saling melengkapi.
Halitu berarti, setiap orang penting memahami dimensi sosial dari setiap ibadah ritual. Meski ibadah-ibadah ritual itu dilakukan dalam rangka membangun hubungan baik dengan Allah SWT ( hablun minallah ), tujuan akhirnya adalah agar seseorang memperbaiki akhlaknya pada sesama ( hablun minannas ). Pesan ini penting agar tidak terjadi kesenjangan
Suatu hari Sa’ad bin Abi Waqash menyaksikan peristiwa yang tidak biasa. Nabi Muhammad membagi-bagi sesuatu kepada Arab Badui tapi tidak merata. Ada yang dapat bagian, ada yang tidak. Maka Saad bertanya kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah, mengapa engkau beri mereka bagian dan engkau tidak berikan kepada orang itu?, Demi Allah saya menganggap dia itu mukmin sebagaimana yang lain.” Rasul menjawab, “Jangan mengatakan dia seorang Mukmin, tapi katakan dia seorang Muslim.” Peristiwa ini kemudian diabadikan di dalam al-Qur’an قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَٰلِكُمْ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ “Orang-orang Arab Badui itu berkata “Kami telah beriman”. Katakanlah “Kamu belum beriman, tapi katakanlah kami telah ber-Islam’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. al-Hujurat 12 Dari ayat ini pahami bahwa beragama itu ada tingkatannya, urutan pertama adalah Islam, yang kedua baru iman. Apa itu Islam ? Secara definisi Islam berarti; tunduk, berserah diri dan menyelamatkan. Tunduk dalam arti apapun yang terjadi di alam semesta termasuk manusia ayat tanda atau ayat kauniyah tanda-tanda alam yang menunjukkan akan adanya Sang Pencipta, yaitu Allah dan kekuasaan-Nya, dan alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum Allah. Berserah diri bermakna; tidak bisa setengah-setengah. Sebab ber-Islam itu melibatkan seluruh jiwa dan raga. Orang tidak bisa hanya mengikuti salah satu ajarannya dan meninggalkan yang lain yang tidak disukai, tidak bisa juga hanya melakukan ibadah spritual lalu meninggalkan yang ritual. Sedangkan yang dimaksud menyelamatkan adalah orang yang memeluk Islam hidupnya akan selamat dan menyelamatkan orang lain, ini makna dari aslama yang terbentuk dari kata salima. Islam terkait dengan amalan-amalan yang sifatnnya zahir, dimulai dengan syahadat dan diikuti oleh empat rukun lainnya yaitu shalat, zakat, puasa, dan haji. Amalan-amalan itu disebut dengan ibadah mahdhah murni. Dinamakan murni karena ini murni dari Allah dan tidak ada tempat untuk kreasi manusia. Orang Islam dalam hal pengamalan ada tingkatannya. Ada yang ber-Islam yang sekedar mengucap kalimat syahadat saja, tapi setelah itu dia dia tidak menjalankan rukun yang Islam yang lainnya. Adapula yang setelah syahadat hanya hanya shalat saja, ada yang zakat saja, atau hanya suka puasa saja, yang lain tidak dilaksanakan. Ada juga yang sudah melaksanakan semuanya, tapi kehidupan sehari-harinya masih melakukan perbuatan dosa. Disisi lain ada yang sudah mengerjakan semua rukun Islam, tapi tingkatannya hanya sekedar menjalankan kewajiban dan biasanya disertai rasa berat hati dan keluh kesah. Ada pula yang masih tidak konsisten dalam menjalankan shalat, kadang shalat kadang tidak. Dalam urusan shalatnya misalnya, shalat yang seharusnya berfungsi untuk mencegah perbuatan maksiat, tapi tidak seperti itu kenyataanya. Raganya shalat, tapi lisannya masih suka berbohong, tangannya berbuat zalim, korupsi, mencuri, tidak amanah, bahkan membunuh. Ketika berzakat harapannya bukan mencari ridha Allah, tapi agar dipuji oleh orang banyak riya’. Puasa Ramadhannya hanya menahan lapar dan dahaga siang hari di bulan Ramadhan, tapi ketika Ramadhan berlalu, berlalu pula ketaatannya kepada Allah. Hajinya pun demikian, rasa kepekaan sosialnya tidak bertambah. Dia berangkat haji, tapi disaat yang sama tetangganya kelaparan, butuh bantuan dan dia tidak peduli. Dalam kata lain, semua ibadah-ibadah mahdhah diatas tidak mempunyai pengaruh apapun baik secara pribadi, terlebih sosial. Hanya sebatas ritual yang menggugurkan kewajiban, tidak lebih. Itu semua adalah contoh manakala ber-Islam kita tidak dibarengi dengan keimanan. Bagaimana Beragama Pada Tingkat Iman? Iman itu mengandung makna keyakinan dalam hati, ikrar dengan lisan dan yang terpenting adalah pengamalan dengan anggota tubuh alias perbuatan. Ber-Iman bisa diibaratkan seperti orang yang mencintai. Cinta adalah pekerjaan hati. Jika seorang mencintai maka ukuran cintanya adalah perbuatan. Orang yang mencintai sesuatu pasti ingin melakukan apa saja agar yang dicintai senang, dan dia berusaha untuk meninggalkan apapun agar yang di cintai tidak murka kepadanya. Ber-Iman kepada Allah dan Rasul-Nya berarti mencintai Allah dan Rasul-Nya. Seorang mukmin, jika dia mencintai Allah dan Rasul, pasti dia tidak akan melakukan apapun kecuali untuk keridahaan Allah; dia tidak juga mengerjakan apa yang Allah benci. Bahkan dalam kehidupannya dia tidak mencintai atau membenci siapa atau apapun, kecuali karena Allah memerintahkan hal itu. Iman itu sebagaimana yang disebut dalam hadits Rasul tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, semua itu membentuk sebuah kesatuan yang sering kita sebut dengan amal shalih. Contoh amal shalih yang merupakan cabang dari itu iman itu seperti; meninggalkan riba, jujur, baik dengan tetangga, bakti kepada orangtua, menegakaan pemerintahan yang adil, amar ma’ruf nahyi mungkar, menghindari sikap boros, mendidik anak-anak dengan baik, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan masih banyak lagi. Jadi, orang yang beriman dengan sempurna pasti orang baik, karena keimanannya kepada Allah dibuktikan dengan semua perilakunya, dia tidak mungkin berbuat jahat kepada siapapun. Baginya perbuatan jahat itu adalah dosa, dan setiap dosa pasti membawa dampak buruk bagi imanannya. Orang ber-Iman pasti Islam. Tapi orang Islam belum tentu beriman. Artinya, bisa saja secara fisik zahir seorang itu memang kelihatan rajin shalat, membayar zakat dan puasa. Tapi hatinya belum tentu tunduk dan taat pada aturan Allah. Banyak aturan Allah yang dia terjang tanpa rasa bersalah, nafsunya masih dijadikan kompas penuntun mengarungi kehidupan. Kemajuan Bangsa Barat dan Konsep Dasar Islam Ada kisah menarik dari seorang ulama dan intelektual Muslim, namanya Muhammad Abduh. Pada tahun 1884 beliau berkesempatan mengunjungi Kita Paris- Prancis. Pada waktu itu Paris telah menjadi kota yang teratur rapi, indah dan bersih. Penduduknya memiliki etos kerja tinggi atau pekerja keras, ramah terhadap tamu, bersahabat dan negaranya berkembang maju. Dari kunjungan ini Muhammad Abduh berkesimpulan untuk mencoba membandingkan dengan kondisi kaum muslimin, beliau berkata; “Ra’aitu al-Islam wa lam ara Musliman wa ra’aitu al-Muslimin fi al-Arab wa lam ara Islaman”, artinya “Aku melihat Islam di Paris tapi aku tidak melihat orang Muslim disana, dan aku melihat Muslim di Arab negara Islam tapi aku tidak melihat Islam di sana”. Maka pertanyaan besar yang kemudian muncul di benak kita, kenapa realita kaum muslimin hari ini jauh tertinggal dari bangsa Paris, atau Barat secara umum? Jawabannya, apa yang orang-orang Prancis lakukan semuanya ada pada cabang iman yang tujuh puluh itu, yang menjadi konsep dasar bagi seorang muslim. Masalahnya, realitas kualitas ibadah umat Islam masih di taraf Islam belum Iman. Kalaupun menyatakan ber-Iman itu baru sebatas pengakuan saja. Jika seorang mukmin beragamanya sampai pada tingkatan iman, maka dengan mengamalkan cabang-cabang keimanan yang jumlahnya tujuh puluh itu dalam kehidupan sehari-hari dan menjaga konsistensi keimanan itu, maka mustahil umat Islam lemah, miskin, tertindas. Tidak mungkin juga orang Islam menjadi perusak lingkungan, berbuat zalim, berselisih antar sesama. Maka ketika kita, kaum muslimin ingin bangkit mengejar ketertinggalan, kita hanya’ perlu kesungguhan dalam mengamalkan Islam dibarengi dengan dengan penghayatan iman, tidak perlu silau dengan ragam ideologi diluar Islam. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. Baca Juga Hak-Hak Buruh dalam Islam
OXkO.